Penning Stories You'll Love to Read

Ahoy Pipel! Welcome aboard! A warm and heartfelt welcome to all who've joined me here. Your presence is truly appreciated. Thank you!

Kamis, 01 Agustus 2024





Dalam kehidupan manusia, keberhasilan dan kegagalan adalah dua sisi dari koin yang sama, datang bergantian dalam siklus yang tak terhindarkan. Banyak orang berpendapat bahwa semua ini bergantung pada "keberuntungan". Namun, apakah kita benar-benar percaya pada konsep keberuntungan itu? Bagiku, keyakinan "No Luck Here, Only Work Hard" tampaknya lebih relevan dalam perjalanan hidupku.

Bukan berarti aku menolak keberadaan keberuntungan sepenuhnya. Lebih dari itu, aku berusaha menanamkan dalam diri bahwa keberuntungan bukanlah faktor utama yang menentukan hasil akhir. Sebaliknya, aku percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah buah dari kerja keras dan usaha yang konsisten. Dengan keyakinan ini, setiap langkah yang aku ambil akan dipersiapkan dengan dedikasi dan kerja keras yang tak tergoyahkan.

Namun, bagaimana jika kita telah bekerja keras tetapi hasilnya tetap nihil? Ketika memulai perjuangan, kita harus siap menghadapi kemungkinan sukses maupun kegagalan. Meskipun aku sudah mempersiapkan diri dengan matang dan menghadapi risiko dengan sikap "Nothing to Lose", kegagalan tetap bisa memberikan dampak mental yang mendalam dan menyakitkan.

Ketika usaha kita tampaknya sia-sia dan hasilnya jauh dari harapan, dampak psikologisnya bisa sangat berat. Perasaan kecewa dan frustrasi bisa membebani jiwa, meskipun aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan kehidupan.

Belakangan ini, aku mengalami serangkaian kegagalan yang terasa seperti beruntun. Aku gagal lolos tahap kesehatan akhir rekrutmen di tempat yang sangat aku impikan. Tak lama setelah itu, aku harus meninggalkan pekerjaan yang ada. Semua kejadian ini terjadi hampir bersamaan. Bayangkan betapa hancurnya perasaanku saat itu.

Sebagai upaya penyembuhan, aku biasanya melakukan aktivitas pendakian gunung. Namun, setelah mendaftar untuk aktivitas ini, aku terpaksa harus membatalkannya karena lututku cedera. Aku harus menjalani proses pemulihan selama dua minggu. Bahkan untuk menyembuhkan sakit hati, aku tidak diizinkan untuk melakukannya. Bagaimana kondisi perasaanku? Tentu saja semakin memburuk.

Namun, aku mulai belajar satu hal yang sangat berharga: "Sembuh Sendiri". Kata ini kini sangat berarti bagiku. Karena aku telah mampu memberikan kesembuhan untuk diriku sendiri. Bagaimana caranya? Aku tidak begitu tahu, tapi yang jelas seiring dengan berjalannya waktu, kondisiku mulai membaik. Setelah sembuh, hidupku mulai tertata kembali. Aku mendapatkan pekerjaan baru yang tampaknya akan sangat ku sukai (memaksa diri untuk menyukai setiap pekerjaan yang aku lakukan).

Saat ini aku sudah lebih tenang dan berdamai dengan kegagalan masa lalu serta belajar untuk memperbaiki di masa depan. Ya, mungkin terdengar seperti generasi Z yang menye-menye, tapi itulah kenyataan yang aku hadapi. Aku tidak akan mengelak dari hal ini.

Walaupun perjalanan masih jauh dan panjang dan mungkin akan menemukan banyak kegagalan yang lain di kemudian hari, paling tidak saat ini aku sudah mengetahui bahwa diriku dapat sembuh dengan sendirinya. Inilah yang membuatku memiliki kekuatan baru untuk menghadapi tantangan di masa yang akan datang (bisa dimasukan di CV untuk melamar kerja ya).

Jadi, bisakah kita sembuh sendirian? Jawabannya tentu bisa. Aku sudah membuktikannya. Semoga kalian juga bisa menemukannya dalam perjalanan kalian masing-masing. Luv


Yogyakarta,
August 2, 2024